Tinjauan Umum Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Dewasa ini secara luas diakui bahwa zat pengatur tumbuh (ZPT) memiliki peran pengendalian yang sangat penting dalam dunia tumbuhan. Saat ini, ZPT tanaman dipergunakan secara luas di dunia pertanian dengan berbagai tujuan, di antaranya penundaan atau percepatan pematangan buah, perangsangan perakaran, peningkatan peluruhan daun atau pentil buah, pengendalian perkembangan buah, pemberantasan gulma, pengendalian ukuran organ, dan lain-lain.
Pada pertengahan 1800-an, ahli fisiologi tumbuhan bangsa Jerman yang terkenal, Julius von Sachs menduga bahwa bentuk tumbuhan disebabkan oleh adanya kegiatan senyawa-senyawa ”pembentuk organ” yang bersifat spesifik, seperti senyawa ”pembentuk daun”, ”pembentuk bunga”, dan lain-lain (Heddy,1996). Namun usaha untuk mengisolasi senyawa-senyawa semacam ini belum berhasil. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa tumbuhan mengandung senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi proses-proses biokimia yang akhirnya menyebabkan pembentukan organ dan aspek-aspek tumbuhan lainnya. Secara keseluruhan senyawa-senyawa tersebut disebut fitohormon, yang mendorong inisiasi reaksi-reaksi biokimia dan perubahan –perubahan komposisi kimia dalam tumbuhan (Heddy,1996). Faktor lingkungan seperti cahaya dan suhu berinteraksi dengan fitohormon dan beberapa proses biokimia selama tumbuh dan diferensiasi berlangsung.
Istilah hormon tumbuhan (fitohormon) diimbas oleh diketahuinya hormon pada hewan dan manusia, yaitu suatu senyawa yang disintesis pada bagian tubuh tertentu, dan dapat ditranspor melalui sistem aliran darah ke bagian tubuh yang lain untuk mengatur respon fisiologis di tempat itu (Harjadi, 2009). Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis (Salisbury dan Cleon, 1995). Orang pertama yang memperkenalkan istilah hormon dalam fisiologi tumbuhan yaitu Fitting pada tahun 1910, dan sejak itu istilah hormon terus digunakan untuk memberi batasan senyawa organik khusus yang terdapat secara alami dengan fungsi pengaturan dalam tumbuhan (Harjadi, 2009).
Menurut Salisbury dan Cleon (1995) sampai sekarang ada lima kelompok hormon yang paling dikenal, walaupun masih banyak lagi yang sudah pasti akan ditemukan. Kelima kelompok yang sudah dikenal itu meliputi auksin, berbagai macam giberelin, beberapa sitokinin, asam absisat dan etilen. Ketika semakin banyak hormon yang dapat dicirikan dan efek serta konsentrasi endogennya dikaji dua hal menjadi jelas. Yang pertama, setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan. Kedua, respon itu bergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase perkembangan,konsentrasi hormon, interaksi antar hormon yang diketahui,dan berbagai faktor lingkungan.
Istilah zat tumbuh mencakup hormon tumbuhan (alami) dan senyawa-senyawa buatan yang dapat mengubah tumbuh dan perkembangan tumbuhan. Nama senyawa tersebut dapat juga menyatakan kegiatan fisiologisnya, misalnya zat tumbuh daun, zat tumbuh akar, dan sebagainya. (Heddy,1996).
Tinjauan Umum Tentang Giberelin
Giberelin adalah jenis hormon tumbuh yang mula-mula diketemukan di Jepang oleh Kurosawa pada tahun 1926. Kurosawa melakukan penelitian terhadap penyakit ”bakane” yang menyerang tanaman padi. Adapun penyebab dari penyakit ini adalah jamur Giberella fujikuroi (Abidin,1990). Senyawa ini diketemukan ketika ekstrak jamur Giberella fujikuroi, yang menyerang tanaman padi, dapat menimbulkan gejala yang sama pada waktu disemprotkan kembali pada padi yang sehat. Karakteristik dari penyakit ini ialah menyebabkan pemanjangan ruas-ruas yang berlebihan batang dan daun memanjang secara tidak normal, sehingga menyebabkan tumbuhan mudah rebah.
Penelitian lanjutan dilakukan oleh Yatuba dan Hahayasi pada tahun 1939. Mereka dapat mengisolasi crystalline material yang dapat menstimulasi pertumbuhan pada akar kecambah. Pada tahun 1951, Stodola dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap substansi ini dan menghasilkan “Giberelin A” dan “Giberelin X”. Adapun hasil penelitian lanjutannya menghasilkan GA1, GA2, dan GA3 1926 (Abidin,1990). Hingga tahun 1990 telah ditemukan 84 jenis giberelin pada berbagai jenis cendawan dan tumbuhan (Salisbury dan Cleon, 1995).
Giberelin adalah suatu golongan ZPT dengan rangka ent-Giberelin yang berfungsi merangsang pemebelahan sel, pemanjangan sel, dan fungsi pengaturan. Semua giberelin bersifat asam dan dinamakan GA (asam giberelat). (Harjadi,2009).
GA3 merupakan giberelin komersial pertama. Pada awalnya disebut dengan asam gibberelat, GA3 merupakan wakil dari 90 jenis Giberelins yang dikenal dewasa ini. (Harjadi,2009).
Menurut Harjadi (2009), secara umum telah diterima bahwa giberelin disintesis lewat lintas alam melavonik dalam pucuk yang sedang aktif tumbuh dan biji-biji yang sedang berkembang. Giberelin telah terbukti terlibat dalam banyak proses fisiologi tumbuhan, namun marga dan jenis tanaman serta faktor-faktor lain akan menentukan giberelin khusus mana yang paling efektif dalam meningkatkan suatu respon tertentu.
Metabolisme Giberelin
Giberelin adalah senyawa isoprenoid, khususnya berupa diterpen yang disintesis dari unit asetat asetil koenzim A melalui lintasan asam melavonat (Salisbury dan Cleon, 1995).
GA3 yang lazim digunakan tampaknya yang lambat terurai, namun selama pertumbuhan aktif, sebagian besar giberelin dimetabolismekan dengan cepat melalui proses hidroksilasi, yang menghasilkan produk yang tidak aktif (Salisbury dan Cleon, 1995). Giberelin juga dengan mudah diubah menjadi konjugat yang sebagian besar tidak aktif. Konjugat ini mungkin disimpan atau dipindahkan sebelum dilepaskan pada saat dan tempat yang tepat. Konjugat yang dikenal meliputi glukosida yang glukosanya dihubunghkan dengan ikatan eter pada salah satu gugus –OH atau dengan ikatan ester pada gugus karboksil giberelin tersebut. Proses metabolik lainnya ialah perubahan giberelin yang aktif sekali menjadi kurang aktif. Contohnya ialah tajuk cemara Douglas, yang dalam responnya terhadap giberelin menunjukkan sedikit pertumbuhan vegetatif, dapat secara efektif menghidroksilali GA4 menjadi GA34 yang jauh kurang aktif. (Salisbury dan Cleon, 1995 ).
Giberelin disintesis pada organ-organ yang merupakan tempat ditemukannya hormon tersebut. Bila giberelin ditemukan di suatu organ tumbuhan, mungkin giberelin disintesis di tempat itu atau dipindahkan ke tempat itu. Biji yang belum matang mengandung giberelin dalam jumlah yang cukup tinggi dibandingkan bagian tumbuhan lainnya, dan ekstrak bebas sel dari biji beberapa spesies dapat mensintesis giberelin. Beberapa hasil percobaan menunjukkan bahwa sebagian besar giberelin yang terkandung dalam biji diperoleh dari biosintesis, bukan diangkut ke situ. (Salisbury dan Cleon, 1995)
Daun muda menjadi tempat utama sintesis giberelin seperti halnya auksin. Hipotesis ini sesuai dengan kenyataan bahwa jika ujung tajuk dan daun muda dipangkas dan tunggul batangnya diberi giberelin atau auksin, pemanjangan batangnya terpacu jika dibandingkan dengan batang terpotong yang tidak diberi hormon. Dapat disimpulkan bahwa daun muda biasanya memacu pemanjangan batang karena daun muda mengirim kedua jenis hormon tersebut ke batang. (Salisbury dan Cleon, 1995)
Akar juga mensintesis giberelin, namun giberelin eksogen menimbulkan afek kecil pada pertumbuhan akar, dan akan menghambat pertumbuhan akar liar. Pelukaan pada bagian sistem akar akan menyebabkan konsentrasi giberelin pada tajuk menurun tajam, hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar pasokan giberelin pada tajuk berasal dari akar melalui xilem. Akar yang dilukai berulang kali tak dapat memasok air dan hara mineral dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kemampuan tajuk dalam mensintesis giberelin sendiri. (Salisbury dan Cleon, 1995)
Pengaruh Fisiologis Giberelin Terhadap Tanaman
Giberelin telah terbukti terlibat dalam banyak proses fisiologi tumbuhan, namun marga dan jenis tanaman serta faktor-faktor lain akan menentukan giberelin khusus mana yang paling efektif dalam meningkatkan suatu respon tertentu. Giberelin sangat berpengaruh pada sifat genetik (genetic dwarfism), pembungaan, penyinaran, partohenocarpy, mobilisasi karbohidrat selama perkecambahan (germination) dan aspek fisiologi lainnya (Abidin,1990). Giberelin mempunyai peranan dalam mendukung perpanjang sel (cell elongation), aktivitas kambium dan mendukung pembentukan RNA baru serta sintesa protein.
Genetic dwarfism, adalah gejala kerdil yang disebabkan oleh adanya mutasi gen. Terhadap gejala ini, giberelin mampu merubah tanaman yang kerdil menjadi tinggi. Hal ini telah dibuktikan dalam eksperimen yang dilakukan oleh Brian dan Hemming (1955) , yaitu dengan memberikan penyemprotan berbagai gibberellic acid pada berbagai varietas kacang dan hasilnya menunjukkan bahwa gibberellic acid berpengaruh terhadap tanaman yang kerdil menjadi tinggi. (Abidin,1990)
Cell elongation, dalam hal ini giberelin mendukung pengembangan dinding sel. Penggunaan giberelin akan mendukung pembentukan enzim proteolitik yang akan membebaskan triptopan sebagai asal bentuk dari auksin. Hal ini berarti bahwa kehadiran giberelin tersebut akan meningkatkan kandungan auksin. Mekanisme lainnya menerangkan bahwa giberelin akan menstimulasi cell elongation , karena adanya hidrolisa pati yang dihasilkan dari giberelin, akan mendukung terbentuknya α amylase(Abidin,1990). Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel menjadi naik, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang.
Pembungaan, pembentukan bunga pada tumbuhan tergantung pada beberapa faktor, termasuk umur dan keadaan lingkungan. Misalnya perbandingan lamanya siang dan malam sangat berpengaruh pada beberapa spesies. Beberapa spesies hanya berbunga apabila lamanya siang hari melewati titik kritis tertentu, dan yang lainnya hanya berbunga jika lamanya siang hari lebih pendek dari titik kritis tertentu. Giberelin dapat menggantikan hari panjang yang dibutuhkan oleh beberapa spesies hal ini pun menunjukkan adanya interaksi dengan cahaya (Salisbury dan Cleon, 1995). Giberelin juga memenuhi kebutuhan beberapa spesies pada saat musim dingin untuk menginduksi pembungaan atau agar berbunga lebih awal (vernalisasi).
Perilaku tertentu tumbuhan biasa dianggap sebagai respon terhadap bermacam-macam rangsangan yang mempengaruhi tumbuhan. Rangsangan itu bisa eksternal atau bisa merupakan internal sebagai akibat dari proses metabolik atau proses melanjutkan keturunan. Faktor-faktor pertumbuhan melalui kontrol terhadap sel dan aktivitas jaringan adalah pengatur tumbuhan sebagai satu kesatuan (Heddy, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 1990. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuhan. Bandung: Angkasa.
Adimihardja, A. 2009. Strategi Mempertahankan Multifungsi Pertanian di Indonesia. Tersesdia pada www.plantasia.com (diakses 30 Desember 2012)
Amay. 2009. Sinar Bio Genetik. Tersesdia pada www.biofir.com (diakses 30 Desember 2012).
Anonim. 2009. Gibberellin. Tersedia pada www.wikimedia.com (diakses 30 Desember 2012).
Arnyana, IBP. 2007. Dasar–Dasar Metodologi Penelitian. Denpasar: Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Budiarto, K., Yoyo S., Ruud M. & Sri W. 2006. Budidaya Krisan Bunga Potong. Tersedia pada http:// www,litbanghotikultura.go.id (diakses 30 Desember 2012).
Campbell ., Reece. & Mitchell. 2003. Biologi. Jakarta :Erlangga.
Chusnul. 2007. Peluang Investasi Budidaya Krisan. Tersedia pada http://www.wordpress.com (diakses 30 Desember 2012)
Cronquist,A.1981. An Integrated System of Clasification of Flowering Plants. New York : Columbia University Press.
Cumming, R.W. 1964. The Chrysanthemum Book. D. Van Nostrand Comp. Inc. New Jersey.
Dimech, A. 2006. Photoperiod: the length of day. The Story of Flowers, Why Plants Flower When They Do. Tersedia pada www.adonline.id.au (diakses 30 Desember 2012).
Gardner, F.P., R.B. Pearce, Roger L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. (Terjemahan). Jakarta: UI Press.
Hanafiah, Kemas Ali. 2003. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harjadi, Sri Setyati. 2009. Zat Pengatur Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Heddy,Suwarsono.1996.Hormon Tumbuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
——--. Suwarsono.1987. Ekofisiologi Pertanaman. Bandung: Sinar Baru.
Jumin, Hasan Basri. 1992. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: Rajawali Pers.
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi MIG Corp. tanpa tahun. Krisan (C. morifolium Ramat, C. indicum, C. daisy) (online). http://amiere.multiply.com/journal/item/117/Budidaya_Bunga_Krisan_C._morifolium_Ramat_C._indicum_C._daisy, (diakses 30 Desember 2012).
Lakitan, Benyamin. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khristyana, Lya., Endang Anggarwulan., dan MArsusi. 2005. Pertumbuhan Kadar Saponin dan Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) Pada Pemberian Asam Giberelat (GA3). Surakarta: Jurusan Farmasi UNS.
Muhit, Abdul. 2007. Teknik Produksi Tahap Awal Benih Vegetatif Krisan (Chrysanthemum morifolium R.). Tersedia pada www. Balithi.Litbang.depten .go.id (dikases 30 Desember 2012).
Nurhalisyah, 2007. Pembungaan Tanaman Krisan (chrysanthenum sp.)
Pada Berbagai Komposisi Media Tanam. Jurnal Agrisistem, Desember 2007, Vol. 3 No. 2 Hlm. 102-105. ISSN 1858-4330.
Oryza. 2008. Agribisnis Bunga Krisan. Tersedia pada http://www.multiply.com/journal/item/9/Agribisnis_Bunga_Krisan (diakses tanggal 30 Desember 2012).
Purwanto, Arie W dan Tri Martini. 2009. Krisan Bunga Seribu Warna. Yogyakarta: Kanisisus.
Pusat penelitian dan Pengembangan Hortikultura [PUSLITBANGHORTI]. 2006. Budidaya Krisan Bunga Potong Prosedur Sistem Produksi (online). Dipublikasi di http://www.kennisonline.wur.nl/NR/rdonlyres/DFE5D50E- A530-48F6-9660-63421045384B/42658/Book1.pdf, (diakses 30 Desember 2012).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Rai,I Gst. Ngr., Wijana Nyoman., dan Arnyana, I.B.P. 1998. Buku Ajar Ekologi Tumbuhan. Singaraja: STKIP Singaraja.
Salisbury, Frank B. Dan Cleon W. Ross. 1995. Fisisologi Tumbuhan Jilid 3 (Terjemahan). Bandung: ITB.
Sanjaya, L., R. Meilasari, dan K. Budiarto. 2004. Pengaruh Nitrogen dan Gibberellin Pada Dua Sistem Pembudidayaan Tanaman Induk Krisan. Prosiding Seminar Nasional Florikultura. hlm. 228-236. Tersedia pada www. Balithi.Litbang.depten .go.id (dikases 30 Desember 2012).
Sarna, Ketut., Putu Budu Adnyana, dan I.G.A.N. Setiawan. 2007. Buku Ajar Fisiologi Tumbuhan Bermuatan Local Genius. Singaraja: Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Mipa UPGS.
Sastrosupadi, Adji. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Sunu, Pratignja dan Wartoyo. 2006. Buku Ajar Dasar Hortikultura. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Widiastuti,Libria. 2004. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Kadar Daminosida Terhadap Petumbuhan dan Pembungaan Tanaman Krisan Dalam Pot (Chrysanthemum morifolium. R) Vol. 11, No. 2. Tersedia pada http://agrisci.ugm.ac.id/vol11_2/no4_krisan.pdf (diakses tanggal 30 Desember 2012).
Wilkins.Malcolm B. 1992.Fisiologi Tanaman.(Terjemahan). Jakarta : Bumi Aksara.
Yatim, Wildan. 2007. Kamus Biologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
ty:http://sustainablemovement.wordpress.com
No comments:
Post a Comment